Senin, 28 Juli 2008

Kisah hidupku

Kisah Hidup

Lahir

Lahir di Jambi dari pasangan bersahaja, Ayahanda Abdul Hamid Zaih dan Ibunda Minatun Atmini. Tanggal lahirku 24 Februari 1978, hari Jumat kliwon jam 10 pagi. Aku satu-satunya anak pasangan ini yang dilahirkan di rumah. Saudara-saudaraku dilahirkan di klinik, puskemas atau rumah sakit.

Masa Kecil

Seperti umumnya anak-anak (kampung) yang ceria, masa kecil diisi dengan bermain dengan teman2 sekitar rumah. Permainannya, permainan kampung: Gotri, goncang kaleng, ladang (=hadang, gobak sodor), patok lele, singitan (=petak umpet), ekal (=kelereng, gundu) dengan beragam variasinya, cingkling, sambaran (cops vs bandits), panggang ayam (apaan nih?), halma, monopoli, ular tangga, domino, kartu remi, dll.

(Bukan) Anak Manis di Sekolah

TK

Orang tuaku termasuk nekad ‘menyekolahkan’ aku, (kakak dan juga adik) di sebuah taman kanak-kanak yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah. Namanya TK Pertiwi II. Nekad apanya? Nekad karena, untuk ukuran ekonomi keluarga kami yang pas-pasan, TK itu lumayan ‘berkelas’. Di TK itu banyak anak pejabat dan anak-anak dari keluarga berada.

Beberapa hal yang masih bisa terkenang

Jatuh di ayunan [Box]

Tempat nostalgia (hutan dan parit belakang rumah), lapangan gubernur, kantor sospol (listrik taman, cari cicak), stadion mini, sungai azlami.

SD

Selepas dari TK, aku masuk ke sekolah dasar yang cuma beberapa puluh meter dari rumah, SDN 123/IV. Entah apa alasan orangtuaku memilih sekolah ini. Yang aku tahu, Mama sudah kenal beberapa orang guru yang mengajar di SD ini. Salah satunya, guru dan wali kelas I, Ibu Puji Astuti, yang se-RT denganku. Berturut-turut walikelasku: Kelas II, Ibu Farida; Kelas III, Ibu Muszalifah; Kelas IV, Ibu Hj. Asmar; Kelas V, Bapak Dumizi; Kelas VI, Sri Wahyuni.

Sekolahku ini bertetangga dengan SDN 66/IV yang konon lebih difavoritkan. Untuk urusan olahraga dan upacara rutin, dua SD yang bertetangga ini selalu melaksanakannya bersamaan, bergantian pelaksananya secara teratur. Kantin dan kamar kecilnya pun jadi satu. Selain halaman depan yang dipakai untuk upacara dan olahraga, kami punya satu lagi lapangan kecil di belakang yang juga dipakai bersama.

Prestasi belajarku mulai kelihatan sejak SD. Tanpa kiat dan bimbingan khusus, aku bisa jadi juara kelas untuk catur wulan pertama. Cawu berikutnya, turun ke rangking 3, dan naik sedikit ke rangking 2di cawu III Kelas I. Prestasi ini cenderung stabil sampai kelas VI, tanpa pernah keluar dari 3 besar, kecuali di Kelas V. Bangga juga, fotoku selalu dipajang di ruang kelas. Angka ujian akhirku (Ebtanas) juga lumayan bagus – 42,45 (rata-rata 8)

Prestasiku di SD tidak hanya di kelas. Beberapa kali aku mewakili sekolah untuk ikut berbagai lomba, mulai dari cerdas cermat, senam (SKJ), menggambar, sampai kepramukaan. Khusus untuk lomba SKJ ini, ada ceritanya..............[Box]

Walau tak banyak membawa piala, aku bangga bisa mewakili sekolah.

Ketua Kelas yang Baik

Aku sendiri tidak tahu, bagaimana aku bisa jadi Ketua Kelas selama di SD. Mungkin karena ditunjuk oleh guru, sebab seingatku tidak pernah ada forum pemilihan ketua kelas.

Sebagai ketua kelas, aku rajin ke kantor guru yang gabung dengan ruang kepala sekolah. Aku juga sepertinya punya kartu pass sehingga bebas keluar masuk kesana. Ada saja urusanku kesana, seperti mengambil kapur tulis, buku absen yang tertinggal di meja guru, mengambil buku tulis teman sekelas, dan lain-lain.

Setiap pagi, dengan aba-aba yang selalu sama aku membariskan teman-temanku, berbanjar di depan pintu kelas. Satu-dua kali seminggu, guru memeriksa kuku jari tangan muridnya sebelum diperbolehkan masuk kelas. Aku yang doyan memanjangkan (atau malas memotong) kuku termasuk sering tertangkap.

Di dalam kelas, sebelum mulai belajar, aku kembali memberikan aba-aba. “Semua siap!”, Berdoa, mulai! (doa belajar), amin!” “Beri hormat!” dan dijawab “selamat pagi, buuuuuu!” (Anda pasti bisa mengira-ngira bagaimana nada koor-nya).

Aku juga jadi kurir untuk urusan keluar, mulai dari fotokopi sampai beli bakso atau bubur kacang ijo untuk guru di kantin “Bakso Karya”, sekitar 100 meter dari sekolahku.

Untuk upacara bendera, aku tak pernah ketinggalan.

Sakit

Aku terlahir sangat sehat. Di antara saudara-saudaraku, aku terlahir paling gemuk. Mama bilang, waktu lahir beratku 4kg. Setelah lahir, asupan giziku yang utama adalah ASI. Konon ceritanya, aku jadi anak ASI sampai umur 4 tahun (hehehe, kelamaan ya?). Mama sampe harus mengoleskan getah brutowali di puting susunya, supaya aku tidak lagi nyusu.

Karena kebiasaan yang kurang baik, kesehatanku nge-drop sejak kelas III SD. Kebiasaan ‘mencuri-curi’ merokok membuat paru-paruku rusak. Di usia 9 tahun, aku didiagnosa mengidap paru-paru kotor. Dalam kurun waktu 3 tahun sejak divonis, berulang kali paru-paruku di-rontgen. Hasilnya, paru-paruku terlihat buram, tidak bening, dibandingkan dengan kondisi paru-paru anak seusiaku. Selama proses pemeriksaan dan penyembuhan, aku berobat jalan di RSU Jambi. Dokter yang merawatku dr.Yaslani Panggarbesi dan dokter Zuweini Harahap.

Kondisi ini makin memburuk saat duduk di kelas V. Ini antara lain karena aku malas minum obat. Obat tablet dan kapsul (yang dijadikan bubuk) lebih sering mendarat di kolong ranjang dibandingkan terserap di lambung. Papa dan Mama sering ngomel kalau mereka mendapati obat-obat yang terserak setiap kali mereka membersihkan kolong ranjangku. Selain obat-obatan oral, aku harus disuntik dua kali seminggu, di hari Rabu dan Sabtu.

Hati kalong

Belajar Menggambar

Tak jelas kapan aku mulai menekuni hobi menggambar. Yang kuingat, sampai kelas II tak ada yang istimewa dengan gambarku. Yah, standarlah. Dua gunung runcing, dengan jalan raya aspal bergaris putih putus-putus, rumah petak dengan atap oranye, sawah dengan padi berdaun tiga, bunga yang potnya hampir sama besar dengan rumah, burung huruf ‘w’ terbalik, plus (kadang-kadang) ada laut yang di permukaannya ada kapal dengan layar segitiga dan berbendera merah putih segitiga pula.

Bakat menggambarku sepertinya turun dari dan diasah oleh Papa. Awalnya, Papa membantuku mengerjakan PR menggambar dengan membuat gambar contoh yang bisa kutiru. Seringkali Papa bercerita dengan gambar-gambar yang dibuatnya. Ada saja cerita karangannya.

Lambat laun aku mulai suka menggambar. Rasanya tak ada lembar belakang buku tulisku yang bebas dari coretanku. Gambar favoritku komik silat dan robot. Sesekali aku menggambar objek alam seperti pepohonan.

Tahun 1988, sewaktu liburan kenaikan kelas V, aku disunat, barengan dengan Kak Rendy. Beberapa hari kemudian, untuk pertama kalinya aku melihat rumahku didatangi begitu banyak tetangga dan kerabat. Sunatanku dipestain. Waktu itu, luka sunatnya belum kering, jadi aku masih pakai sarung. Terus apa hubungannya dengan urusan gambar?

Seperti biasa, anak yang jadi pengantin sunat dapat hadiah dari tamu-tamu. Hadiahnya beragam, mulai dari amplop yang berisi uang, sarung, peci, dll. Tapi ada satu yang beda dengan hadiah sunat yang kudapatkan. Hadiah itu dari Tante Neng. Isinya cat air!

Seru juga hadiah ini, pikirku. Tak lama menganggur, cat air itu langsung aku pakai. Berhubung tidak punya kanvas atau buku gambar yang bagus, bagian dalam daun pintuku yang jadi pelampiasan. Di sanalah coretan pertamaku dengan cat air. Aku mencontoh gambar pemandangan yang aku lihat dari sebuah poster.

Waktu terus berjalan, dan aku pun semakin lincah menggambar. Bakatku dilihat oleh guru-guruku. Akhirnya, di kelas V, aku diikutkan ke Porseni Kecamatan Telanaipura yang dilaksanakan di SDN 201/IV, tak jauh dari sekolahku. Di lomba yang pertama ini aku dapat Juara III. Robby, temanku dapat Juara II. Karena masuk tiga besar, aku diutus lagi ke Porseni Kotamadya Jambi di Gedung Olah Seni (GOS) Jambi. Lagi-lagi, aku dapat Juara III. Sayang, Robby tidak masuk tiga besar kali ini.

Sekali waktu aku diikutkan ke lomba yang awalnya aku tak tahu lomba apa. Aku cuma diminta oleh guruku untuk membuat tulisan Arab berbunyi Bismillahirrahmannirrahim. Aku pun menulisnya seperti huruf yang tertera di Al Quran, lurus-lurus saja, tanpa seni. Di pertengahan lomba aku melirik ke peserta yang lain. “Kok, bikinnya gitu ya?”, ujarku dalam hati melihat tulisan peserta lain yang dilekuk-lekukkan, bagus sekali.Beberapa waktu kemudian baru aku tahu, lomba yang kuikuti tempo hari adalah lomba kaligrafi.

Orang mungkin berpikir bahwa orang yang pintar menggambar pasti tulisan tangannya juga bagus. Mungkin benar, mungkin juga salah. Tulisanku sendiri bisa dibilang biasa-biasa saja. Aku bahkan sering bereksperimen dengan tulisan-tulisanku, mencari font yang paling indah dan mudah.

Sobatku Sehari Lebih Tua

Voltus, Megaloman, dan Lion Man. Hampir semua anak seusiaku mengenal tokoh-tokoh super hero fiksi ini.

Hamburger

Ini mungkin perkenalan pertamaku dengan makanan dari luar negeri. Waktu itu, aku bingung dengan bentuknya. Dua roti bundar pipih mengapit lempengan daging plus sayuran. Makanan apa nih? Karena merasa aneh, dagingnya aku kasih ke teman dan aku makan rotinya saja. Hehehe, katrok ya...

Helm

Ulat

Mainan

Belajar Ngaji

SMP

Dengan nilai yang cukup lumayan, aku melanjutkan sekolah di SMN 7 Jambi. Tidak ada alasan khusus yang membuatku masuk ke sekolah ini. Kala itu, berlaku sistem rayon. Pada akhirnya, aku bersyukur bisa masuk ke sekolah ini yang ternyata salah satu SMP favorit di kotaku.

Setelah melewati masa pendaftaran, tibalah saatnya aku masuk SMPN 7. Ada beberapa teman SD-ku yang ikut masuk sekolah ini. Begitu masuk, ada suasana lain yang aku rasakan. Hal yang sama aku yakin dirasakan juga oleh teman-teman seangkatanku dari SD yang lain. Setelah jadi sulung di SD, sekarang jadi bungsu lagi.

Saat itu, angkatanku dan beberapa angkatan di atasku didominasi oleh alumni SD Adhyaksa I, salah satu SD swasta terbaik di Jambi. Mereka mengisi peringkat atas penerimaan siswa baru. Aku sendiri hanya berhasil masuk urutan ke-11.

Sebagaimana biasanya pada zaman itu, hari-hari pertama sekolah bagi siswa baru diisi dengan Penataran P4. Aku pun mengikutinya dengan sebaik-baiknya, walaupun tidak baik-baik banget. Kenapa? Begini ceritanya. Di awal masa penataran, kami mengikuti pre-test. Selanjutnya kami mengikuti kurikulum penataran yang berisikan materi Pancasila, UUD 1945 dan GBHN. Di akhir masa penataran diadakan lagi post test dengan soal yang sama dengan pre-test.

Tak sengaja, aku mendapatkan lembaran soal yang tidak biasa. Di dalamnya ada lembaran jawaban yang sudah ditandai. “Ini pasti kunci jawaban”, kataku ke Zamzami, teman SD-ku yang selama penataran duduk di sampingku. Tanpa banyak bicara , kami langsung mengisi lembar jawaban kami dengan ‘contoh’ tadi. Di hari terakhir penataran, Panitia mengumumkan 10 besar peringkat peserta penataran. Bisa ditebak, namaku dan Zamzami masuk didalamnya. Aku peringkat 7, dan Zamzami peringkat 8. Waktu dijajarin di lapangan untuk menerima piagam, aku senyum-senyum sendiri. “Ini pasti gara-gara kunci jawaban itu”, kataku ke Zamzami. Setamat SMP, temanku yang kurus, tinggi, langsing ini melanjutkan sekolah ke sekolah pelayaran. Terakhir aku dengar kabar ia sudah jadi mualim sebuah kapal besar yang berlayar ke mancanegara.

Masa SMP juga jadi pijakan besar untuk kehidupan berorganisasiku selanjutnya. Melanjutkan kegiatan ekstrakurikulerku di SD, aku kembali ikut latihan Pramuka. Saat latihan pertama, aku langsung masuk ke regu inti. Alasannya sederhana, Kak Rendy sudah lebih dulu jadi anggota regu inti di angkatan sebelumnya. Ternyata, teman-temanku yang tergabung di regu itu juga rata-rata direkrut dengan sedikit nepotisme, karena ada saudaranya yang telah masuk regu inti angkatan sebelumnya. Ada juga beberapa yang tidak punya saudara di regu inti sebelumnya, tapi menurut penilaian senior dan Pembina mereka potensial jadi anggota regu yang tangguh.

Juara gambar (sanggar)

Adik Ketua OSIS

Sobat baru (TRI RIM)

Penjaga Kantin

Cinta monyet

SMA

Supersibuk

Dikoleksi teman

Jualan kartu lebaran

Papa – Mama

Perantau

Cerita hidup Papa-Mama sejak mereka lahir sampai sebelum menikah sangat seru untuk diulang-ulang. Tidak membosankan walaupun sering diceritakan. Papa dan Mama sama-sama perantau dari kampungnya. Papa dari Dusun Rantau Panjang, Sekayu, Musi Banyu Asin dan Mama dari Dusun Nduri, Slahung, Ponorogo.

Mama meninggalkan tanah kelahirannya sebelum sempat menerima ijazah SD, sekitar tahun 1964. Kala itu, situasi di kampung halamannya sangat memprihatinkan. Panennya gagal total. Hampir tidak ada yang bisa dimakan. Dengan bekal seadanya, si Atun kecil hijrah ke Sumatra, tempat yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Bersama pamannya, Mama ‘mendarat’ di Nipah Panjang, sebuah perkampungan di ujung timur Provinsi Jambi, sekitar 10 jam perjalanan naik kapal tongkang dari Kota Jambi.

Di tempat baru ini, Mama ikut dengan pamannya. Tidak ada pekerjaan yang menghasilkan uang untuk Mama. Ia hanya membantu pekerjaan di rumah pamannya.

Masa itu, di Indonesia, PKI sedang giat-giatnya melakukan pergerakan untuk menarik massa.

Setelah meletus

Papa meninggalkan kampung halamannya di usia

Orang Belakang

Kakak – Adik

Aku lumayan dekat dengan adik-adikku. Kalau dengan Kak Rendy, waktu kecil dulu aku berantem terus. Bahkan sampai aku jadi anggotanya di Dewan Kerja Cabang Kodya Jambi masa bakti 1996-1999 dimana ia jadi ketuanya.

Bisa dibilang aku rajin membantu Mama ngemong adik-adik, walaupun lebih sering bikin mereka nangis ketimbang mengasuh dengan baik. Waktu Fajar, Ria dan Nurul masih bayi, aku sering menggendong mereka. Posisi ngemong favoritku, duduk dengan kaki dirapatkan dan meletakkan mereka di atas tulang kering betisku.

Pengasuh Adik-adik

Home Sweet Home

Sampai aku meninggalkan Jambi untuk beraktivitas di Jakarta, sudah lima rumah yang aku tempati bersama keluargaku. Aku belum lahir ketika Papa dan Mama tinggal di rumah pertama mereka, setelah mereka menikah. Rumah Papa dan Mama yang pertama itu dibangun di pinggiran kota Jambi. Konon rumah itu dibangunkan oleh uWak Hamid.

Rumah itu bisa dibilang jauh dari keramaian. Papa dan Mama harus menempuhnya jalan setapak dengan sepeda sekitar satu kilo dari jalan yang agak lebih besar. Saking sepinya, Papa hanya berhasil mengumpulkan kurang lebih 12 orang untuk mengadakan acara selamatan menghuni rumah itu.

Tak lama dihuni, rumah itu musnah dilalap api. Untuk sementara, Papa, Mama dan Kak Andri tinggal di rumah uWak Hamid. Disinilah, 10 hari setelah kebakaran rumah, Kak Andri meninggal dunia karena sakit.

Rumah pertama yang kudiami dibangun di sebidang tanah di jalan yang sama, dimana rumah-rumahku selanjutnya dibangun. Jalan itu dulu hanya berpredikat ‘lorong’. Namanya lorong Karya. Rumah ini dibangun di atas tanah sewaan milik H. Achri, salah seorang tokoh trpandang di Kota Jambi kala itu. Rumah kami ini berdinding papan dan atap rumbia, dengan cat kapur berwarna hijau pupus. Di rumah inilah aku dilahirkan. Setelah umurku 29 tahun baru aku tahu, ternyata ada teman kuliahku yang ‘numpang’ dilahirkan di rumah ini. Namanya Dwi. Waktu itu, orangtuanya bertetangga dengan orangtuaku.

Tak lama setelah rumahku berdiri. Sebuah bangunan dibangun di samping kanan rumahku. Bangunan itu sebuah sekolah, SMPN 7 Jambi, yang kelak menjadi sekolahku, Kak Rendy dan Dek Ya. Kami punya beberapa hewan peliharaan. Selain kucing, kami punya monyet dan kura-kura. Anak-anak SMP 7 sering pula duduk-duduk di halaman rumahku.

Jalan di depan rumahku masih jalan tanah. Jalan aspal ke arah kota mulai ada di simpang Karya, sekitar 200 meter dari rumahku. Aku dan Kak Rendy sering nonton orang-orang bekerja membangun jalan aspal di depan rumah. Yang paling seru sewaktu kendaraan-kendaraan besar (alat berat) lewat. Puluhan orang bergotong royong membuka jalan.

Di pekarangan, Papa menanam beberapa batang pohon rambutan. Sayang kami tak sempat menikmati buahnya di rumah itu karena terlanjur pindah ke tempat baru. Di tanah yang kami sewa itu akan dibangun rumah oleh si empunya tanah. Beberapa tahun kemudian, ketika bersekolah di SMP 7, dengan bangga aku ceritakan kepada teman-teman, “yang nanam batang rambutan itu Bapak aku!”. Yah, pohon rambutan yang ditanam oleh Papa berbuah sangat lebat dan terlihat menyembul dari dua pagar; pagar SMPN 7 dan pagar rumah Pak Bachri. Setiap musim rambutan, Nyai, demikian kami memanggil wanita tua bersahaja – istri Pak Bachri, selalu mengirimkan sebagian buah rambutan yang manis dan ngelotok

Saat masih di rumah pertama, seorang adik laki-laki Mama datang dari kampung di Ponorogo dan ikut tinggal bersama kami. Namanya Andiyono. Kami memanggilnya Lek No.

Rumah kedua, yang mulai kami tempati tahun 198....., tak jauh dari sebelumnya hanya menyeberang jalan sekitar 100 meter. Secara fisik, rumah ini masih sama dengan rumah sebelumnya. Tanah tempat rumah ini dibangun pun berstatus sewa. Papa menyewanya pada Pak Suhardjo, Ketua RT kami, yang rumahnya hanya sekitar 50 meter dari rumah kami.

Aku sering numpang main ayunan di rumahnya, atau sekedar main dengan Yanto, putera bungsu Pak Harjo yang sekelas denganku di SD. Kalau cuma berdua, kami main catur atau bercerita ngalor ngidul di bawah pohon melinjo di samping rumahnya. Kadang-kadang aku memanjat pohon belimbing di samping rumahnya. Buahnya tidak terlalu besar tetapi manis. Selain belimbing, di pekarangan belakang rumah Pak Hardjo tumbuh pula pohon macang, mangga, jambu biji dan jambu bol. Di pekarangan rumah Pak Harjo, tepatnya di bawah pohon rambutan, aku menemukan koin mata uang Belanda. Bentuknya bujur sangkar dengan sudut membulat. Aku tak ingat nilainya, kalau tidak salah bertahun 1887.

Disini kami bertetangga dengan keluarga Pak Slamed. Istrinya kami panggil Bude. Anak-anaknya ada 6 orang; Uda Keke, Kak Nuzul, Kak Cicip, Kak Iwan, Irvan dan si bungsu Yuni.

Di depan rumahku tumbuh batang Ubi Tahun dan pohon rambutan yang tegak lurus dengan dedaunan yang rimbun membulat. Untuk urusan mandi dan buang air, kami menggunakan fasilitas alam. Lima puluh meter ke belakang rumah kami, agak menurun, ada beberapa sumur tanah yang bermata air bening. Di sana juga ada aliran air dari pemukiman di arah barat yang juga melewati kolam ikan milik Pak Hardjo. Batang air yang bermuara di Danau Sipin ini seringkali meluap saat hujan lebat. Akibatnya, ikan-ikan di kolam Pak Hardjo banyak yang kabur.

Berturut-turut, di dekat rumah kami dibangun dua komplek rumah instansi pemerintah. Pertama, kami menyebutnya komplek anggaran. Disini teman-temanku namanya; Ayuk Lia, Panji, Oki, Indah, anak Om dan Tante Eni; Yeyen, Novi, Andi.

Komplek yang lain kami sebut komplek kejaksaan. Tetangga terdekat kami yaitu uWak Gunawan, seorang jaksa kelahiran Kayu Agung. Beliau dan istrinya memiliki 6 orang anak; Kak Barap, Kak Iyas, Yuk Lin, Mat, Nti dan Aung. Kalau ditanya, apa yang paling diingat dari rumah uWak Gun, jawabannya pasti ‘keramik’. Betul sekali, rumahnya dipenuhi berbagai hiasan dari keramik; guci, vas, asbak, patung aneka bentuk dan sebagainya. Tamu harus berjalan ekstra hati-hati di dalam rumah ini. Di rumah ini juga, aku dan teman-teman sering numpang nonton video (VHS), cerita silat Cina. Di sebelah kanan rumah Wak Gun, ada Pak Kartono dan istrinya Bu Kartini (bener lho!). Ibu Kartini ini pun lahirnya pas tanggal 21 April yang kita peringati sebagai hari Kartini. Anaknya dua orang. Si bungsu namanya Muhammad Subeki, teman sekelasku sejak kelas IV, sewaktu ia baru pindah dari Jawa.

Bersama anak-anak tetangga, aku bermain seperti layaknya anak-anak seusiaku. Karena badanku kecil, aku kalah tangkas dibandingkan teman-temanku. Untungnya, dalam beberapa permainan, ada teman yang bisa dijadikan ‘korban’. Yeyen dan Novi. Dua kakak beradik ini sering kami curangi supaya masang (=jadi korban) terus.

Dari rumah inilah aku mengenal sekolah. Setahun setelah Kak Rendy masuk TK, aku juga masuk TK. Saat SD pun kami bersekolah di tempat yang sama. Selama tinggal di rumah ini juga, aku mendapatkan dua orang adik. Fajar lahir tanggal 21 November 1984 dan Ria lahir tangga; 21 Maret 1987.

Biaya sekolah dan kebutuhan hidup sehari-hari ini membutuhkan uang yang lumayan besar untuk ukuran kami. Untunglah Mama membantu menopang kehidupan kami dengan usaha jahitnya. Mama juga membuat kue yang dijual di SMP 7, dititip di kantin Bu Is. Setiap sore, aku atau Kak Rendy mengambil kue yang tidak terjual dan uang hasil penjualan.

Aku dan Kak Rendy juga sering membantu Mama membuat kue. Kue bikinan Mama yang dijual di kantin antara lain kue lapis, pastel, roti bakar, donat, dan dadar. Pekerjaan kesukaanku mengisi inti, parutan kelapa yang diberi gula merah, dan dibungkus dengan lembaran dadar berwarna hijau. Kalau lagi iseng, aku sengaja mengisinya lebih sedikit atau lebih banyak supaya ‘dinilai’ tidak standar. Dengan begitu, kue itu tidak masuk hitungan, dan.... boleh dimakan sendiri. Yang seru juga kalau bikin donat. Tugasku melumuri donat dengan butiran gula halus.

Selain kue, Mama juga membuat dan menjual kripik singkong dan es lilin. Aku senang membungkus kripik singkong dengan plastik bening yang tepinya dirapatkan dengan api lilin. Bahan es lilin buatan Mama dibekukan di freezer milik tante Daeng.

Di dekat rumah kami, di samping rumah Pak Hardjo, ada lapangan voli. Seringkali disana ada pertandingan antar RT. Biasanya aku dan Kak Rendy berjualan es lilin atau kripik singkong disana.

Di rumah ini pula untuk pertama kalinya ada televisi menemani keluarga kami. Tivi merek Sharp 14 inci itu tentunya masih hitam putih. Karena belum berlangganan listrik, tivinya menggunakan arus listrik dari aki basah yang seminggu sekali di-charge. Tempat charge langganan kami di rumah Pak........ Disini juga Mama sering minta jasa obras karena Mama belum punya mesin obras sendiri.

Ada kenangan sendiri dengan tivi ini, Kakek, cas abis, film.

Seperti di rumah pertama, keluarga kami menerima seorang perempuan dari Ponorogo. Kami memanggilnya Lek Rom. Ia masih kerabat jauh Mama. Dulu, Mama belajar ngaji di rumahnya, sekitar 4 kilometer dari rumah Mama di kampung.

Lima tahun menempati rumah itu, kami sekeluarga pindah rumah lagi. Kali ini mundur ke belakang sekitar 100 meter, tepat di pinggir batang air yang kuceritakan tadi. Aku ingat, Papa bekerja keras membersihkan semak belukar di lahan yang akan kami tempati. Sesekali aku dan Kak Rendy membantu Papa meratakan tanahnya, karena lahannya miring. Papa mencangkul, aku dan Kak Rendy menarik kantong tanah, memindahkannya ke sisi yang lebih rendah. Biasanya, kami mengerjakannya sore hari.

Setelah lahannya rata, Papa dibantu Wak Umar mulai memasang rangka rumah. Di hari Minggu yang sudah direncanakan, kami pun pindah. Disini aku melihat semangat gotong-royong para tetanggaku. Dengan semangat, ibu-ibu menyiapkan makanan untuk bapak-bapak yang bekerja keras mengangkat barang serta memasang dinding dan atap.

Kali ini rumah terlihat lebih apik walau masih berdinding papan. Atapnya sudah seng penuh, walaupun sebagiannya seng bekas. Lantainya juga masih semen acian biasa. Aku masih sekamar dengan Kak Rendy, bersebelahan dengan kamar Papa-Mama dan terhubung oleh satu pintu.

Di rumah ini untuk pertama kalinya kami memiliki aliran listrik dari PLN. Sebelumnya, untuk penerangan, kami mempergunakan lampu strongkeng (petromax) dan lampu teplok. Pun dulu orang tuaku menyetrika dengan setrika arang. Aku sendiri belum pernah mempergunakannya. Setelah menggunakan setrika listrik, barulah aku mulai belajar menyetrika. Karena tak pandai, setrikaan itu sempat mencium paha kananku. Waw, lumayan juga rasanya.

Seiring waktu, kami mulai mendapatkan tetangga. Berturut-turut, di sisi kanan rumah kami dibangun beberapa rumah baru. Tepat di sebelah kanan rumah kami dibangun rumah Pak Iskandar, seorang guru SMPN 7 Jambi yang kini banting setir jadi PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Kerinci. Istrinya Bu Is, saat itu masih mengelola kantin di SMPN 7, tempatku ‘berdinas’ jualan. Anaknya dua orang. Pertama, Yuk Eka, nama lengkapnya Dian Eka Safitri dan Kak Wando, nama lengkapnya Dwando Patrika Abdullah. Kak Wando seangkatan dengan Kak Rendy. Aku dan Kak Rendy pernah jadi kenek bangunan sewaktu rumah ini dibangun. Cuma sehari, sih. Tapi pegelnya minta ampun.

Di sebelah rumah Pak Is, ada rumah Yuk ............ dengan suaminya........ dan tiga anaknya.

Di sebelahnya lagi ada rumah Pak Sudirman, seorang guru yang juga pendakwah yang cukup terkenal di kotaku.

Usaha jahit Mama masih terus berjalan, bahkan terlihat makin laris. Pelanggan Mama datang dari berbagai tempat. Kualitas jahitan Mama sebenarnya rata-rata saja. Yang membedakan adalah harganya. Mama termasuk penjahit yang tidak bisa pasang tarif tinggi. Begitu ditawar langsung luluh. Apalagi kalau kenalan lama.

Suatu ketika, kami mendapat kabar, lahan di sekitar rumah akan dijadikan perumahan elit. Karena lahannya yang tak rata, tanah dari tempat yang lebih tinggi dikeruk dan didorong ke tempat yang lebih rendah. Karena itu pula lah, rumah kami yang berada di ‘lembah’ harus dipindahkan. Setelah kami pindah, aku bisa membayangkan kalau rumahku masih disana, atapnya akan sama tinggi dengan permukaan lahan perumahan.

Organisasi

Gerakan Pramuka

Dewan Kerja

Komunitas 14

Palang Merah

Sioux

Yayasan Wagleri

OSIS, Hima dan Senat

Akuntan yang Ilustrator

(atau Ilustrator yang Akuntan)

Prestasi

Juara III Lomba Menggambar PORSENI se-Kecamatan Telanaipura, dilaksanakan di SD 201/IV, 1989.

Juara III Lomba Menggambar PORSENI se-Kotamadya Jambi, dilaksanakan di Gedung Olah Seni, 1989.

Lomba-lomba di Kepramukaan.

Juara II Lomba Lukis dalam rangka Pameran Lukisan Seniman Jambi, 1991.

Juara II Lomba Poster Kesehatan dalam rangka Hari Kesehatan Nasional, tahun 1995.

Juara I Putra Lomba Mengarang dalam rangka Bulan Bahasa tingkat Kodya Jambi, 1995.

Siswa Teladan II Jenjang SMA, tingkat Kodya Jambi

Mahasiswa Berprestasi I Fakultas Ekonomi Univ. Jambi, 1999

Mahasiswa Berprestasi III Univ. Jambi, 1999